Jumat, 24 Desember 2010

Home » » KASUS BANK CENTURY

KASUS BANK CENTURY

Jakarta - Kasus Bank Century mencuat ketika Pemerintah melalui Lembaga Penjamin Simpanan (LPS menyuntikkan modal sebesar Rp 6,76 triliun untuk menyelamatkan bank tersebut. Jumlah ini menjadi begitu besar dan menarik perhatian masyarakat karena dana penyelamatan Bank Century semula diperkirakan hanya sebesar Rp 632 miliar. Kenaikan jumlah ini mengakibatkan berbagai tudingan kepada Bank Indonesia (BI) dan Departemen Keuangan sebagai penentu kebijakan penyelamatan Bank Century pada 20 November 2008 melalui Komite Stabilitas Sistem Keuangan.

Dari kasus ini isu utama yang dipermasalahkan adalah mengenai tepat atau tidaknya keputusan penyelamatan Bank Century oleh Pemerintah pada November 2008. Pemerintah melalui BI dan Departemen Keuangan berpendapat bahwa penyelamatan Bank Century melalui suntikan dana tersebut sudah tepat dengan alasan untuk menghindari risiko sistemik yang mungkin timbul dari ditutupnya bank tersebut sehingga dikhawatirkan terulangnya kembali krisis keuangan seperti tahun 1998 lalu.

Atas keputusan ini banyak pihak menilai bahwa keputusan menyelamatkan Bank Century tidak tepat. Selain menggunakan uang negara yang merupakan uang rakyat alasan mengenai kemungkinan terjadinya risiko sistemik kurang bisa dipertanggungjawabkan. Menurut pihak yang tidak setuju dengan penyelamatan bank ini ditutupnya Bank Century tidak akan mengganggu kestabilan sistem perbankan negara kita karena secara market share Bank Century hanya mempunyai mencakup 0,1% jumlah nasabah perbankan di Indonesia.

Selain itu aset Bank Century hanya berjumlah 0,3% dari total aset perbankan Indonesia. Mereka juga yakin bahwa penutupan Bank Century tidak akan menimbulkan rush pada sistem perbankan nasional atau pun terulangnya krisis keuangan tahun 1998.

Isu lain yang muncul terkait suntikan dana tersebut adalah adanya dugaan penyelewengan terhadap suntikan modal tersebut yang mengalir ke pihak-pihak tertentu. Banyak pihak meragukan kebenaran aliran modal tersebut karena adanya benturan kepentingan. Adanya benturan kepentingan ini menyebabkan keputusan untuk menyelamatkan Bank Century ditengarai hanya untuk menyelamatkan deposan-deposan besar dan bukan untuk menyelamatkan sistem perbankan.

Systemic Risk
Waktu itu alasan utama Pemerintah untuk menyelamatkan Bank Century adalah kekhawatiran akan terjadinya systemic risk dan rush pada sistem perbankan nasional. Penutupan Bank Century pada waktu terjadinya krisis keuangan global (November 2008) dikhawatirkan membawa dampak berantai yang parah seperti kasus 1998.

Penutupan Bank Century diperkirakan akan mengakibatkan kepanikan pada nasabahnya. Kepanikan ini mendorong nasabah-nasabah lain akan berbondong-bondong menarik uangnya pada banyak bank. Terutama bank-bank kecil sekelas Century dan memindahkan ke bank-bank yang lebih besar.

Penarikan besar-besaran ini mengakibatkan bank-bank yang pada awalnya sehat menjadi ikut bermasalah dan mengalami masalah likuiditas. Sebagai akibatnya bank-bank ini akan berusaha mencari pendanaan dengan meminjam dana dari bank-bank besar melalui pinjaman antar bank.

Dalam hal ini bank-bank besar cenderung lebih berhati-hati dalam mengucurkan dananya sehingga bank-bank kecil semakin terdesak karena kesulitan memperoleh likuiditas. Dalam keadaan seperti inilah banyak bank akan berjatuhan.

Sistem perbankan akan mengalami rush dan mengakibatkan naiknya suku bunga pinjaman secara tajam. Selain itu akan banyak terjadi kredit macet sehingga nasabah akan mengalami kerugian dan sektor industri juga akan terkena dampaknya.

Sebagai akibatnya bank-bank besar pun akan terkena dampaknya dan terjadilah kelumpuhan sistem perbankan. Akibat lebih jauh adalah merosotnya kredibilitas sistem perbankan nasional sehingga akan terjadi capital outflows secara besar-besaran. Hal ini akan berpengaruh terhadap investasi nasional, country risk, dan sistem ekonomi Indonesia secara keseluruhan.

Menurut BI definisi systemic risk adalah adalah risiko kegagalan salah satu peserta dalam memenuhi kewajibannya yang jatuh tempo sehingga menyebabkan peserta lain juga mengalami kesulitan likuiditas yang pada gilirannya menjadi tidak mampu memenuhi kewajiban-kewajibannya. Bank Indonesia mendasarkan dampak kriteria systemic risk pada 5 (lima) hal yaitu 1) Dampak pada institusi keuangan, 2) Dampak pada pasar keuangan, 3) Dampak pada sistem pembayaran, 4) Dampak pada psikologi pasar, dan 5) Dampak kepada sektor riil. 

Sebenarnya terjadinya systemic risk tersebut merupakan kemungkinan yang bisa terjadi atau tidak terjadi sama sekali. Probabilitas dari terjadinya systemic risk ini akan meningkat apabila kondisi perekonomian dan perbankan secara global sedang tidak sehat.

Kekhawatiran Pemerintah pada waktu itu adalah akibat penutupan Lehman Brothers pada 15 September 2008 yang  menyebabkan krisis keuangan dan perbankan secara global. Dalam kasus Century yang terjadi pada November 2008 kondisi perekonomian dan perbankan dunia sedang dalam masa krisis sehingga kemungkinan terjadinya systemic risk sangat tinggi.

Di sisi lain masalah yang terjadi pada Bank Century tidak akan menjadi systemic risk (atau pun jika menjadi systemic risk akan mempunyai probabilitas yang relatif kecil) bagi perekonomian dan perbankan apabila terjadinya tidak bersamaan dengan krisis global. Dengan demikian selain faktor internal dari suatu bank tersebut kemungkinan terjadinya systemic risk akan sangat bergantung dari kondisi-kondisi eksternal seperti kondisi perekonomian secara umum, stabilitas perbankan, stabilitas politik dan keamanan, dan sebagainya.

Namun demikian perlu diingat bahwa systemic risk itu akan selalu melekat dalam dunia perbankan. Hanya saja kemungkinan terjadinya systemic risk itu sangat bervariasi tergantung dari keadaan internal dan eksternal dari sistem perbankan itu sendiri. Karena sifatnya yang melekat pada sistem perbankan systemic risk tidak serta merta bisa dihilangkan.

Untuk itu tindakan yang bisa dilakukan adalah langkah-langkah antisipasi, pengelolaan risiko yang baik, dan penerapan kebijakan yang tepat untuk menangani masalah-masalah seperti yang terjadi terhadap kasus Bank Century.

Systemic Risk dan Risiko Keuangan Negara (Risiko Fiskal) seperti yang telah dijelaskan sebelumnya terjadinya systemic risk akan menyebabkan efek yang buruk bagi perekonomian. Jika systemic risk yang dikhawatirkan benar-benar terjadi maka semua potensi kerugian yang awalnya hanya sebuah kemungkinan akan terjadi.

Kerugian ini akan berakibat pada keuangan negara baik secara langsung atau pun tidak langsung. Secara langsung Pemerintah harus mengeluarkan anggaran untuk menyelamatkan dan mengembalikan dana-dana para nasabah. Secara tidak langsung Pemerintah akan mengeluarkan biaya yang besar untuk memulihkan perekonomian melalui berbagai instrumen kebijakan baik moneter maupun fiskal.

Selain itu memburuknya situasi perekonomian akan menyebabkan menurunnya penerimaan negara dari sektor pajak. Penurunan dari sisi penerimaan dan peningkatan dari sisi pengeluaran merupakan risiko fiskal yang bersifat langsung dan dirasakan dampaknya secara langsung. Secara tidak langsung kerugian yang ditimbulkan karena systemic risk tersebut akan berpengaruh terhadap kemajuan Negara di masa depan.

Akan diperlukan sumber daya yang jauh lebih banyak untuk bisa mengejar ketertinggalan yang terjadi. Selain itu dampak sistemik ini dikhawatirkan akan menyebabkan banyak perjanjian-perjanjian yang akan default dan mengharuskan negara mengeluarkan dana yang tidak sedikit untuk membayarnya. Dampak yang lebih luas dan lebih besar bisa saja terjadi dan mengakibatkan kerugian yang tidak pernah diperkirakan sebelumnya seperti krisis tahun 1998.

Dalam kasus Century dapat kita lihat bahwa kebijakan yang diambil oleh Pemerintah menyebabkan Pemerintah harus mengeluarkan dana talangan sebesar Rp 6,76 triliun untuk mencegah terjadinya kerugian yang lebih besar yang diperkirakan mencapai Rp 30 triliun. Artinya jika Pemerintah tidak melakukan bail out terhadap Bank Century kemungkinan kerugian dan biaya yang harus ditanggung oleh Pemerintah diperkirakan malah akan membengkak dan mencapai Rp 30 triliun. Dana talangan tersebut berasal dari LPS yang modal awalnya berasal dari keuangan Negara sehingga kasus seperti ini mempunyai dampak risiko kepada Keuangan Negara secara langsung.

Jika dilihat sekilas terlihat bahwa Pemerintah telah mengeluarkan dana yang cukup besar untuk sesuatu yang belum tentu terjadi. Kejadian seperti ini merupakan salah satu bentuk risiko fiskal yang dapat merugikan keuangan Negara dan bisa terjadi sewaktu-waktu. Akan tetapi mengingat potensi risiko yang begitu besar jika bail out tidak dilakukan Pemerintah memutuskan menyelamatkan Bank Century. Terlepas dari adanya skenario dan bermacam-macam kecurangan dalam penyelamatan Bank Century kasus ini telah menimbulkan risiko yang besar bagi keuangan Negara.

Pengelolaan Risiko

Melihat potensi kerugian yang begitu besar diperlukan langkah-langkah yang tepat guna mencegah atau meminimalisir akibat terjadinya systemic risk tersebut. Hal-hal yang bisa dilakukan antara lain menyusun langkah-langkah antisipasi dalam rangka pengelolaan risiko dan perbaikan pada sistem perbankan dan keuangan Negara ini.

Selain itu diperlukan juga langkah-langkah darurat yang dirasa perlu untuk menjaga stabilitas sistem keuangan pada saat-saat kritis yang membutuhkan penanganan sesegera mungkin. Sebagai langkah antisipasi diperlukan suatu mekanisme semacam Early Warning System yang baik untuk memantau dan memberikan laporan berkala kepada instansi yang berwenang mengawasi perbankan.

Hasil dari pemantauan tersebut akan dijadikan dasar untuk menilai bagaimana kondisi perekonomian pada umumnya dan sistem perbankan pada khususnya. Laporan ini akan ditindaklanjuti oleh unit yang berwenang untuk melakukan langkah-langkah preventif yang harus dilakukan. Proses yang tidak kalah penting untuk mendukung pengelolaan risiko yang baik adalah adanya keterbukaan pengawasan dari pihak berwenang secara benar. Peran pemantauan dan pengawasan ini merupakan langkah yang menentukan dalam pengelolaan risiko tersebut.

Hal lain yang sangat penting dalam mendukung proses pengelolaan risiko terhadap systemic risk adalah adanya sistem yang sehat dalam dunia perbankan dan keuangan. Selain itu mutlak diperlukan suatu peraturan perundang-undangan untuk mengatur dan memberikan pengawasan terhadap dunia perbankan dan keuangan.

Selama ini sistem keuangan dan perbankan kita masih mengacu kepada UU Bank Indonesia dan UU Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). RUU Jaring Pengaman Sektor Keuangan (JPSK) yang diajukan oleh Pemerintah sejak April 2008 masih mengalami jalan buntu dalam pengesahannya. RUU JPSK ini disiapkan Pemerintah setelah krisis keuangan di Amerika terbukti berpengaruh besar bagi perekonomian dunia. Selain mengatur hal-hal yang umum dalam hal pengelolaan risiko peraturan ini diharapkan mampu menjadi dasar hukum yang kuat bagi langkah-langkah yang ditempuh oleh Pemerintah.

Peraturan ini juga harus memuat berbagai kewenangan yang jelas kepada pejabat Negara yang berhak mengambil keputusan terkait proses pengelolaan risiko sistem perbankan. Dengan demikian perangkat analisis dan peraturan yang baik diharapkan bisa mengurangi polemik dan potensi risiko sehingga kasus seperti Century tidak terjadi lagi di masa yang akan datang.
sumber:detikcom

0 komentar:

Posting Komentar