Jumat, 24 Desember 2010

Home » » WikiLeaks: Tragedi dan Harapan

WikiLeaks: Tragedi dan Harapan

WikiLeaks: Tragedi dan Harapan
Hernawan Bagaskoro Abid - suaraPembaca

Dunia politik dan diplomasi internasional terguncang. WikiLeaks sebuah lembaga whistle blower nirlaba berbasis internet mempublikasikan beribu-ribu dokumen yang bersifat rahasia milik Departemen Luar Negeri Amerika Serikat (AS). Dokumen-dokumen kawat yang dikirimkan oleh para diplomat dan perwakilan AS di seluruh dunia ke Washington (dan sebaliknya) mengenai berbagai isu internasional tersebut kini bisa diakses oleh publik di seluruh dunia dengan mudah.

Dunia pun terbelalak. AS yang selama ini dikenal sebagai negara yang santun dan elegan dalam berdiplomasi ternyata menyimpan 'aib' diplomasi. Bukan hanya terhadap lawan politik tapi juga terhadap sekutu-sekutunya. Aib tersebut tidak lain berupa 'penghinaan' terhadap beberapa pemimpin negara dunia melalui kata-kata yang tidak pantas diucapkan.

Kita tentu tak pernah menyangka bahwa Hamid Karzai, Presiden Afganistan yang dikenal sangat 'akrab' dengan AS untuk memerangi Al-Qaeda dan Taliban di Afganistan disebut sebagai 'pria yang sangat lemah' dalam kawat rahasia yang diungkap oleh WikiLeaks.

Tidak hanya itu saja. Nicolas Sarkozy (Presiden Prancis) dan Silvio Berlusconi (PM Italia) yang notabene adalah rekan kerja di G20 disebut sebagai 'si lemah, payah, dan tidak efektif' dan 'perasa dan otoriter'.

WikiLeaks bukan pertama kali ini melancarkan aksinya. Belum lekang dari ingatan kita beberapa bulan yang lalu lembaga ini menyebarkan dokumen-dokumen rahasia mengenai tentara AS di Afghanistan dan Irak. Departemen Luar Negeri AS sontak melakukan pembelaan.

Menlu AS Hillary Clinton mencoba untuk melakukan serangan balik dengan menuduh WikiLeaks sebagai pihak yang tidak bertanggung jawab dan memiliki agenda terselubung (hidden agenda) untuk memojokkan AS. Mantan first lady tersebut bahkan menyebut aksi-aksi yang dilakukan oleh WikiLeaks sebagai sebuah 'krisis internasional'. Sebuah tragedi bagi dunia diplomasi.

Tapi, benarkah ini aksi WikiLeaks tersebut bertujuan untuk mendiskreditkan AS di mata internasional? Saya rasa tuduhan Clinton sangat tendensius dan reaksional daripada sebuah analisa berdasarkan kenyataan kenyataan yang ada.

Nyatanya, WikiLeaks bukan hanya 'mengurusi' kawat diplomat AS saja. Lembaga tersebut juga pernah membocorkan kasus korupsi di Kenya, membongkar rencana pembunuhan di Somalia, menyadap skandal pada Barclays, grup Bildeberg, dan masih banyak yang lainnya.

Sebenarnya, apa yang dilakukan oleh WikiLeaks telah membuktikan asumsi yang selama ini masih bersifat hipotesis mengenai praktek 'diplomasi bermuka-dua' (two-faces diplomacy) dan 'politik kemunafikan' (politics of hypocrisy) yang ditampilkan oleh AS.

Hans J Morgenthau dalam Politics Among Nations pernah mengingatkan bahwa apa yang tampak di atas panggung-panggung diplomasi bukanlah cerminan dari kenyataan sebenarnya. Apa yang terjadi di belakang panggung justru lebih penting sehingga yang tampak sebagai kawan belum tentu kawan dan sebaliknya.

Kenyamanan dan keramahtamahan diplomasi yang selama ini digembar-gemborkan oleh AS terbukti sebagai pseudo-hospitality belaka. Bahkan, jika mengikuti pemaparan Paul Sharp dalam Diplomatic Theory of International Relations (2009: 76), sebenarnya WikiLeaks adalah diplomasi itu sendiri, yaitu menjadi jembatan informasi dan penghubung (mediation) antara dua pihak yang berjarak, yaitu masyarakat dan pihak otoritas.

Kalau kita mau jujur sebenarnya yang dilakukan oleh Julian Assange (pendiri WikiLeaks) sama dengan yang diinginkan oleh publik dan pemerintah AS sendiri. Menyangkut keterbukaan informasi.

Berkali-kali AS (melalui media, NGO, hingga pemerintahnya sendiri) meminta negara-negara seperti China untuk tidak menyensor sumber informasi publik, seperti internet, dengan alasan-alasan 'berbau' HAM. Kini, dalam kadar yang lebih 'ekstrim', WikiLeaks memberikan akses sebesar-besarnya kepada dunia terhadap informasi-informasi yang selama ini tergolong rahasia. Sayangnya memang informasi tersebut memperlihatkan betapa 'bobroknya' etika diplomasi AS selama ini.

Jadi ini mungkin saja tragedi bagi AS (dan pihak-pihak lain yang dibocorkan informasinya). Akan tetapi WikiLeaks justru memberi harapan baru bagi masyarakat dunia, mengenai akses informasi, yang tak mereka dapatkan dari pihak yang seharusnya memberikan.

Menarik kemudian pesan yang disampaikan oleh Julian Assange, dalam sebuah wawancara dengan majalah TIME, Assange, sebagaimana juga Clinton, menyebut bahwa kerahasiaan itu sangat penting. Akan tetapi ia menambahkan bahwa kerahasiaan tersebut tidak seharusnya dipakai untuk menutupi aib dan penyalahgunaan wewenang.

Ya, secrecy shouldn't be used to cover up abuses! Ada dua kemungkinan yang dapat terjadi dengan hadirnya WikiLeaks. Pihak-pihak yang merasa ketakutan dan menganggap bahwa ini sebuah tragedi akan menutup rapat-rapat pintu dalam sistem yang mereka bangun. Sedangkan yang merasa bahwa ini adalah sebuah harapan akan menganggap WikiLeaks sebagai otokritik. Sebuah sarana untuk mengawasi sistem mereka sendiri.

Kehadiran WikiLeaks memang tak sepatutnya dijadikan sebagai phobia dan musuh bersama. Layaknya sebuah kamar yang berantakan di malam hari yang gelap WikiLeaks hanya menyediakan lampu senter yang tidak akan menambah berantakan kondisi kamar tersebut. Tapi, hanya menjadikannya jelas di mata orang yang memandangnya.

Akhirnya, masyarakat dunia perlu meneriakkan: berikan kami kebenaran, lalu biarlah kami yang menentukan!

0 komentar:

Posting Komentar